The Silencer [Chapter 2]
PostedSelalu. Setiap pagi. Setiap Soni bangun dari tidurnya, Dira selalu
berdiri di depan jendela kamarnya. Senyum manis gadis itu selalu
mengawali harinya.
“Selamat pagi, Soni.” Ucap lembut gadis itu.
Dira
melangkah pelan ke arah Soni. Dress putih yang dikenakannya terlihat
sangat cocok di tubuhnya, membuatnya terlihat cantik saat berjalan.
Dira kemudian duduk di samping Soni yang masih berbaring di atas tempat
tidurnya. Sedikitpun matanya tak putus lekat menatap wajah Soni. Dira
menundukkan wajahnya diatas wajah Soni. Beberapa helai rambut
panjangnya berurai menyentuh pipinya.
“Ayo bangun. Matahari menunggumu untuk menyapanya”.
Soni
tersenyum kecil. Dia ingin tetap seperti ini, saat Dira duduk di
dekatnya dan mengucapkan selamat pagi padanya. Melihat Dira duduk di
sampingnya, ada keinginan kuat Soni untuk menyentuh dan memeluk
tubuhnya. Dia tak ingin kehilangan Dira. Tapi saat dia ingin melakukan
hal itu tiba tiba tubuh Dira perlahan mengabur. Sedikit demi sedikit
tubuhnya menghilang sampai akhirnya benar-benar menghilang. Kemudian
Soni tersadar bahwa Dira hanya hadir dalam bentuk bayangan. Ia mendesah
pelan. Dira sudah menjadi hantu abadi dalam pikirannya.
Soni
beranjak dari tempat tidurnya dan melangkah ke luar jendela. Matahari
belum terlalu jelas menampakkan dirinya, tapi sinar hangatnya terasa
jelas meresap ke dalam kulit tubuhnya. Ia menghirup udara segar dari
balik pepohonan di samping rumahnya. Beberapa sudah ditebang untuk
menghindari resiko tertimpa pohon karena hujan badai. Dari kamarnya
yang berada di lantai dua rumahnya, Soni bisa melihat pemandangan kota
Bandung pagi itu. Sejak kecil dia selalu ingin melihat pemandangan kota
Bandung dari ketinggian.
Jauh sebelum dia memutuskan
untuk mengikuti ayahnya, dia tidak mempunyai kesempatan sama sekali
untuk melihat pemandangan kota Bandung, bahkan untuk menginjakkan
kakinya di kota ini saja hanya berada di batas keinginannya saja. Dia
tidak mampu menolak permintaan ibunya untuk tidak mendatangi kota
Bandung. Ibunya takut di kota ini dia akan bertemu ayahnya dan mengajak
Soni untuk tinggal bersamanya. Sebagai anak kecil yang baru berusia 5
tahun waktu itu, tak ada pikiran apapun kecuali mengikuti saja apa yang
dikatakan ibunya itu.
Seiring berjalannya waktu, Soni
mulai memahami arti dari perceraian kedua orang tuanya. Bercerai
menjadi jalan terbaik menurut orang tuanya adalah jalan yang salah
menurut Soni. Mereka sama sekali tidak memikirkan bagaimana perasaan
anak-anak mereka sendiri. Yang mereka pikirkan hanyalah bagaimana
caranya agar keegoisan mereka bisa terus melebihi ego masing masing
agar salah satu dari mereka mau meminta maaf terlebih dahulu. Sungguh
keras kepala.
Kebenciannya semakin membuncah ketika suatu
hari ibunya memperkenalkan seorang laki-laki paruh baya kepadanya.
Hatinya bagai dilumuri racun menyengat dari binatang beracun paling
berbisa. Bagaimana mungkin dia bisa menerima kehadiran orang lain
disaat dia sendiri membenci keadaan ini. Kebenciannya itulah yang
akhirnya mendorongnya untuk mendatangi ayahnya di Bandung. Disamping
dia juga sangat menyukai kota ini, ada sedikit harapan terbersit dalam
hatinya bahwa mereka bisa bersatu kembali setelah sekian lama. Dan
setelah dia mengumpulkan puing-puing kenangannya bersama Dira. Tapi,
saat dia membutuhkan Dira untuk berada di sisinya, Tuhan justru
berkehendak lain dengan terlebih dahulu menempatkan Dira di dunia yang
lain. Dunia yang tidak mampu dijangkau oleh Soni.
“Kang Soni, Ayo Sarapan dulu”. Suara teh
Minah dari balik pintu membuyarkan lamunannya. Seperti biasa, Soni
hanya mendengar tanpa memberi jawaban. Pembantunya itu pun sudah cukup
mengerti dengan tidak memanggilnya kembali. Setelah selesai mandi
kemudian Soni menuju ruang makan. Langkahnya pelan seperti dipaksakan.
Semenjak Dira tak ada di sisinya, tak sedikitpun nampak rona keceriaan
dalam wajahnya. Hidupnya masih diliputi awan hitam pekat yang terus
mengekor kemanapun dia pergi. Sari sari kehidupannya seperti telah
diserap sedikit demi sedikit. Tubuhnya bergerak tapi hati dan
pikirannya terpenjara dalam dunia yang entah dimana berada. Ayahnya pun
tidak bisa berbuat apa apa saat Soni hanya mengangguk dan menggeleng
setiap kali ditanya. Tak ada satu katapun terucap dari mulutnya.
Setiap
kali menatap mata seseorang, Soni selalu melihat berbagai dunia kosong
tak berpenghuni. Tak ada keindahan, tak ada tanah dan tak ada udara.
Kadang ia melihat sesosok makhluk berjubah hitam sedang menatap melalui
mata merahnya yang tajam, sehingga ia merasa ketakutan dan menggigil
dibuatnya. Kadang ia juga melihat gemerlap bintang bercampur dengan
kerlip warna warni dari balik bola mata orang lain. Begitu banyak
dunia yang mampu dilihatnya tapi tak ada satupun yang mampu membuatnya
kembali ke masa masa bersama Dira. Tak ada satupun yang mampu membuka
gembok mulutnya.
Mulutnya tetap tertutup rapat…
Sembari
berjalan menuju kampus, Soni memperhatikan setiap mata orang yang lalu
lalang. Mungkin ada sebuah dunia indah yang bisa ia temukan dalam mata
mata itu. Mungkin ada satu saja keindahan yang bisa ia lihat. Tapi
sepertinya langkahnya hanya ditemani dunia dunia yang sama. Boleh jadi
hanya melalui mata Dira dia bisa melihat dunia indah yang berbalut
warna warni itu.
Mulutnya hanya bisa menyebut nama itu…
Ia
melangkah melewati taman kampus dengan langkah pelan dan tenangnya. Ia
tidak memperdulikan mata mata itu memperhatikan dirinya. Soni tidak
memperdulikan pikiran mereka tentang dirinya seperti zombie yang
berkeliaran dalam kampus. Dalam pandangannya justru mereka yang tidak
ubahnya seperti boneka manekin yang berjajar di dalam butik butik. Diam
dan bisu.
**